Hanya Kuah Rasa Domba

Di satu dusun sunyi di antara perbukitan Kulonprogo, berdiri sebuah pesantren kecil bernama Nurul Qur’an. Di jalan sempit timur Pasar Kokap tepatnya, berjarak cukup dekat namun hening suasana tidak seramai pasar. Pesantren yang dulunya Rumah Tahfizh itu dipimpin oleh seorang kyai bersahaja bernama Kyai Nur Wakhid. Baju batiknya sederhana, wajah dan senyumnya meneduhkan. Saban hari, ia mengajar 160 santri yatim dan dhuafa mengaji dengan suara lembut. Pesantren itu berdiri bersisian dengan wilayah para misionaris yang rutin menggelar kegiatan sosial. Kadang Kyai Nur Wakhid menunduk lama dalam sujudnya, berdoa agar iman para santri dan warga sekitar tetap kokoh meski godaan datang dari segala arah.
Setiap tahun, ketika Idul Adha datang, Pesantren Nurul Qur’an hanya mampu menyembelih satu atau dua ekor domba. Itupun hasil iuran dari para kawan-kawan Kyai Nur Wakhid. Kyai Nur Wakhid tak pernah mengeluh. Ia hanya menunduk, menepuk kepala santri-santrinya dengan kasih, lalu berkata, “yang penting niat kita untuk taqarrub kepada Allah tak pernah putus.” Namun diam-diam, air matanya sering jatuh saat malam, membasahi sajadah tua yang jadi teman setianya.
Tahun ini, duka lebih terasa. Ekonomi masyarakat lesu sejak awal tahun 2025, pasar cenderung sepi. Dan kabar paling mengiris adalah salah satu misionaris di sekitaran pesantren makin kencang gerakannya. Kyai Nur Wakhid diam. Tapi dalam hatinya terasa seolah langit runtuh. “Ya Allah… jaga anak-anak ini. Jangan biarkan mereka berpaling karena lapar dan pakaian robek,” gumamnya lirih sambil menggenggam mushaf kecil yang mulai lapuk sudut-sudut jilidnya.
Dua pekan menjelang Idul Adha, Kyai Nur Wakhid sudah mencoba menghubungi beberapa sahabatnya. Ia mengetik ajakan berqurban di komputer meja di ruang tamu pesantrennya. Ia lalu memberikan pesan ajakan sederhana pada relawan Daarul Qur’an Yogyakarta yang mampir mengirimkan beberapa stel baju muslim baru untuk puluhan santri remaja. Kyai Nur Wakhid berharap ada akan ada donatur dan orang yang peduli pada 160 anak yatim dhuafa yang kini hanya bermunajat pada langit.
Kyai Nur Wakhid memberi tahu, “jika hanya satu atau dua ekor domba untuk 160 santri dan guru Al-Qur’an, maka hanya kuah rasa domba yang kami bagikan. Seadanya saja.” Di tengah lingkaran santri-santrinya, Kyai Nur Wakhid tersenyum dan berkata, “kita tak tahu esok berapa hewan yang datang. Tapi kita yakin Allah Maha Melihat.” Di dalam hatinya, Kyai Nur Wakhid sudah siap jika esok hanya akan ada satu atau dua domba, seperti tahun-tahun sebelumnya, namun ia yakin tentang pertolongan Allah untuk para keluarga-Nya di muka bumi, Para Penghafal Al-Qur’an, yang membawa keberkahan.
Semoga seperti tahun-tahun sebelumnya, ketika hari Idul Adha tiba, deru mobil masuk halaman pesantren. Setidaknya, PPPA Daarul Qur’an Yogyakarta mengantarkan dua sampai empat ekor domba qurban tambahan, jika sedang banyak orang baik yang tergerak bisa sampai enam atau delapan ekor untuk Pesantren Nurul Qur’an. Juga untuk Rumah Tahfizh dan Kampung Qur’an di ujung Merapi dan Purworejo, daging-daging dari orang-orang baik dibagikan bersama PPPA Daarul Qur’an Yogyakarta. Biasanya, para santri bersorak saat antaran daging domba tiba. “Ini amanah dari orang-orang baik yang mendengar doa Kyai Nur Wakhid yang menembus langit. Harapan bersama daging qurban ini adalah, semoga pesantren ini tetap jadi cahaya di tengah gelapnya zaman.”
Di tengah ijabahnya doa antara qurban dan dekatnya pengharapan kebaikan Allah, air mata para santri tumpah. Di pelukan kecil para santri, mushaf kecil masih erat dalam genggaman. “Alhamdulillah… Ya Rabb, Engkau tidak tidur.” Hari-hari berlalu tahun-tahun ke belakang, bukan hanya daging qurban yang dibagikan. Tapi juga harapan, iman, dan air mata syukur yang mengalir bersama daging qurban yang dirayakan di halaman pesantren di satu sudut Kulon Progo, Yogyakarta.