Memancarkan Cahaya di Balik Jeruji

Memancarkan Cahaya di Balik Jeruji

Di balik dinding kokoh dan jeruji besi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta, hadir suasana yang berbeda pada 25 Juli 2025. Bukan riuhnya penjagaan atau hiruk-pikuk penghuni lapas yang mendominasi, melainkan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang bergema lembut, menandai dimulainya Asesmen Kompetensi Tahsin dan Tahfizh bagi para pengajar Al-Qur’an di Madrasah Qur'an Al-Fajar bersamaan agenda khataman 30 juz Al-Qur’an. Sebanyak 15 orang asesi, yang seluruhnya merupakan warga binaan, mengikuti ujian kompetensi ini dengan penuh kesungguhan. Mereka bukan hanya tengah diuji kemampuan, tetapi juga keteguhan hati untuk menjadi cahaya di tengah harapan yang terus dibangun.

Program ini merupakan kolaborasi antara LSP Daarul Qur’an yang berlisensi resmi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dengan PPPA Daarul Qur’an dan Baitul Maal Merapi Merbabu Jogjakarta (BM3J). Tujuannya tak semata menguji kelancaran bacaan Al-Qur’an, lebih dalam dari itu yakni mengukuhkan peran para warga binaan sebagai guru, pendidik, dan pembimbing spiritual sesama narapidana yang kini menjadi “santri”. Sebuah peran yang tak ringan, namun sarat dengan nilai rehabilitasi sejati yang menghidupkan harapan dan mendamaikan jiwa lewat Kalamullah.

Suasana khidmat memenuhi ruangan ketika seluruh peserta duduk berhadapan dengan para asesor, mendengarkan nasihat dan penguatan sebelum rangkaian asesmen kompetensi dimulai. Tidak ada tembok pembatas antara narapidana dan pendidik eksternal, yang ada hanyalah hati-hati yang berusaha saling menyembuhkan. Hati yang mungkin pernah hancur, namun kini sedang dibangun kembali di atas kalimat Allah.

Di tengah ruang Madrasah Al-Fajar, wajah-wajah penuh harap terpancar. Beberapa asesi tampak menunduk dengan mushaf di tangan, memantapkan bacaan dan menenangkan diri. Ada yang masih mengulang-ulang tajwid dan makhraj, memastikan setiap huruf keluar dari tempatnya dengan benar. Sebuah proses yang tak hanya menguji keilmuan, tetapi juga kesabaran dan niat tulus mereka untuk terus berbenah.

Salah satu asesor, dengan penuh empati, menyimak bacaan dari asesi yang tampak bergetar suaranya. Bukan karena ketakutan, melainkan getaran rasa haru dan sungkan karena di depan mereka bukan hanya penilai, tetapi juga saksi perubahan hidup diri dan “santri” di LAPAS Kelas IIA Yogyakarta. Dua asesor LSP Daarul Qur’an yang datang pun terenyuh. Mereka menyadari bahwa proses ini lebih dari sekadar uji kompetensi. Ini lebih kepada episode kebangkitan bersama Al-Qur’an.

Di satu sisi ruangan, tim PPPA Daarul Qur’an Yogyakarta dan BM3J terus mendampingi dan berdiskusi. Tatapan mereka teduh penuh perhatian dan penghargaan terhadap proses yang dijalani para warga binaan. Mereka datang dengan semangat membimbing. Setiap catatan yang mereka buat adalah langkah menuju pengakuan kompetensi yang sah bagi para guru Qur’an dari balik jeruji ini.

Madrasah Qur’an Al-Fajar telah menjadi rumah harapan bagi para penghuni yang memilih jalan cahaya. Didirikan dan dikelola oleh warga binaan sendiri dengan pendampingan luar biasa, madrasah ini menjadi oase bagi yang haus akan makna hidup. Di tempat inilah ayat demi ayat ditanamkan, bukan hanya di hafalan, tetapi juga dalam hati dan perilaku. Pelan tapi pasti, cahaya Al-Qur’an memendar bersinar di balik jeruji sebagai penjaga kebaikan-kebaikan.

Asesmen ini menjadi pengakuan resmi atas peran mereka. Dengan sertifikasi kompetensi dari BNSP RI, para pengajar ini diharapkan memperoleh legitimasi yang mungkin tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Di dunia luar, legitimasi ini bisa menjadi jembatan untuk mengabdi dan bermasyarakat dengan penuh kebaikan. Lebih dari itu, di dalam lapas, legitimasi ini memberi mereka martabat, tanggung jawab, dan kesempatan menjadi teladan.

Di akhir sesi, senyum mengembang dari wajah-wajah yang sebelumnya dipenuhi kecemasan. Bukan karena semuanya lulus dengan nilai sempurna, tetapi karena mereka telah berani tampil, menunjukkan diri, dan menerima proses. Mereka tahu bahwa asesmen ini hanyalah awal dari perjalanan yang lebih panjang, yakni menjadi keberanian membawa cahaya Qur’an, bahkan di tempat yang paling gelap sekalipun.

Asesmen Kompetensi Tahsin dan Tahfizh Guru Al-Qur’an di LAPAS Yogyakarta hari itu bukan sekadar kegiatan formal. Agenda ini adalah penanda zaman bahwa dakwah dan pendidikan tak mengenal batas fisik. Dan bahwa setiap manusia, tak peduli seberapa kelam masa lalunya, berhak mendapat kesempatan kedua melalui Al-Qur’an, melalui ilmu, dan melalui cinta yang tulus untuk berubah dan menjadi teladan di masyarakat.

Oleh: Maulana Kurnia Putra, S.Sos., MA.