Tak Punya Rumah, Ibunya Buruh Ladang : Azka Tetap Punya Cita-Cita Besar

Tak Punya Rumah, Ibunya Buruh Ladang : Azka Tetap Punya Cita-Cita Besar
Tak Punya Rumah, Ibunya Buruh Ladang : Azka Tetap Punya Cita-Cita Besar

Namanya Azka, seorang bocah laki-laki berusia sekitar 10 tahun yang kini duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Ia tinggal bersama ibunya serta dua kakak perempuannya di sebuah rumah sederhana yang mereka tumpangi milik salah satu saudara. Kehidupan keluarga Azka jauh dari kata cukup. Mereka tidak memiliki rumah sendiri, segala kebutuhan dipenuhi dengan seadanya, dan kadang harus menahan keinginan karena kondisi yang tidak memungkinkan.

Sejak kecil, Azka harus tumbuh tanpa sosok ayah di sisinya. Sang ayah meninggal dunia karena sakit kanker, meninggalkan duka yang dalam dan tekanan hidup yang besar bagi keluarganya. Ibunya, seorang perempuan tangguh, mengambil peran sebagai kepala keluarga. Ia bekerja sebagai buruh ladang dari pagi hingga sore, demi menghidupi anak-anaknya. Meski penghasilannya tak seberapa, ia selalu berusaha memberikan cinta dan kehangatan, agar anak-anaknya tetap merasa aman dan diperhatikan.

Di tengah himpitan ekonomi dan kondisi keluarga yang sulit, Azka tetap menunjukkan semangat belajar yang tinggi. Ia bersekolah di Rumah Qur’an Al-Khawarizmi, sebuah lembaga pendidikan nonformal yang mengajarkan pengetahuan umum dan agama kepada anak-anak, tanpa memungut biaya sepeser pun dari para santri. Di tempat inilah Azka menemukan lingkungan yang penuh cinta, motivasi, dan nilai-nilai kebaikan. Ia belajar membaca Al-Qur’an, memahami pelajaran sekolah, serta menumbuhkan akhlak yang mulia bersama teman-temannya.

Azka bukanlah anak yang banyak bicara, namun ia menyimpan satu impian besar dalam hatinya: ia ingin menjadi pegawai PLN. Impian ini muncul dari pengalaman-pengalaman kecil yang ia alami sehari-hari. Ketika listrik di rumah sering mati, Azka selalu terlihat cemas dan penasaran. Ia ingin tahu bagaimana cara memperbaikinya, dan membayangkan suatu hari bisa membantu banyak orang yang mengalami hal serupa. Baginya, menjadi pegawai PLN bukan hanya pekerjaan, tapi cara untuk menjadi orang yang berguna.

Impian itu mungkin tampak sederhana, tapi bagi Azka, itu adalah simbol harapan. Ia percaya bahwa dengan belajar dan berdoa, ia bisa mencapai cita-citanya. Ia tahu bahwa jalan di depannya tidak mudah, tapi ia tidak takut. Semangatnya tumbuh dari cinta ibu, kenangan akan ayah, dan dukungan dari para guru di Rumah Qur’an. Di tengah keterbatasan, Azka menyalakan mimpinya seperti lilin kecil di tengah gelap. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, lilin itu akan menjadi cahaya terang, bukan hanya untuknya, tapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.