Dari Marbot Sampai Jadi Imam Masjid
Muhammad Yahya adalah seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saat ini ia masih semester tiga dengan jurusan Ilmu Alqur'an dan Tafsir. Sebelum ia tiba di Yogyakarta satu tahun silam, Yahya masih tinggal di daerah asalnya Sulawesi. Setelah lulus dari pesantren sebetulnya lelaki 21 tahun ini bercita-cita kuliah di salah satu negara yang ada di Timur Tengah.
Namun, impiannya belajar di luar negeri lantaran tak mendapatkan izin dari orangtua, Ambo Angkal dan Asnidar. Meski sempat putus, Yahya tetap bersikukuh mencari pengalaman di luar Sulawesi Selatan, tempat asalnya. Ia tak menyerah meski ayah dan ibunya mengaku tak sanggup membiayai kuliah Yahya jika belajar di luar Sulawesi.
"Awalnya orang tua berat hati untuk melepas saya, mereka nangis waktu di bandara. Sampai sekarang pun kalau telepon masih suka menangis," jelasnya.
Yahya tetap bertekad mencari wawasan baru di luar pulau. Hingga tibalah ia di Yogyakarta. Setibanya di kota pelajar, Yahya memang tak sebatang kara, mengingat ada beberapa kawan alumni dari pondoknya yang berdiam di sana pula. Akan tetapi, ia harus berusaha mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Pertama kali menginjakkan kaki di Jogja, besoknya saya baca ada lowongan kerja untuk menjadi takmir masjid. Saya beranikan diri dan coba hubungi kontak yang ada di sana. Kemudian besoknya lagi wawancara, dan Alhamdulillah direrima setelah tes wawancara dan adzan," kata Yahya menjelaskan secara rinci.
Selama empat bulan menjadi marbot masjid di perumahan Casa Grande, ia telah terbiasa mengepel lantai, facum cleaner, bersih-bersih tempat wudhu hingga toilet. Semua itu ia lakukan agar perjuangannya di tanah rantau berbuah manis. Yahya tak ingin membenani orangtua. Hingga suatu saat ia memberanikan diri menggantikan penceramah yang tak hadir di masjid tempatnya bertugas.
"Terus, saya bilang saja ke pengurus, kalau nanti ustadnya tidak hadir, saya saja yang mengisi kajian. Dan Alhamdulillah, diperbolehkan," tutur Yahya.
Sudah tradisi jika siapa pun yang menjadi penceramah maka otomatis akan menjadi imam pada salat Isya. Maka, Yahya pun mau tidak mau melangkahkan kaki berdiri di barisan paling depan memimpin para jamaah. Berkat kemampuan yang Allah berikan kepada Yahya berupa suara merdu dan bekal hafalan Alqur'an, hari-hari berikutnya ia dipercayai menjadi imam di masjid tersebut.
"Dari saat itu, Shubuhnya dan seterusnya saya dipercaya untuk menjadi imam. Alhamdulillah," ucap Yahya penuh syukur.
Ramadan lalu jadwalnya pun sangat penuh. Terhitung lebih dari 20 malam ia habiskan memenuhi undangan dan menjadi imam di masjid yang berbeda di seputar Yogyakarta. Tak hanya itu, ia juga diminta mengisi kajian Ramadan. Yahya menuturkan, meski banyak tugas dan kerap pulang malam karena kesibukannya itu, ia bersyukur karena Allah memberikan jalan terbaik kepadanya.
Yahya kini sudah dapat meringankan beban orang tua. Setiap bulan ia niatkan agar dapat memberikan bantuan dana guna keperluan sekolah adiknya. Saat ini Yahya masih tinggal di Masjid Perumhan Casta Grande. Sebelumnya, ia harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk sampai kampusnya dengan sepeda, tapi ketulusan dan perjuangan dakwahnya perlahan membuahkan hasil.
"Alhamdulillah sekarang sudah ada motor, hasil jeri payah sendiri. Inilah keberkahan Alqur'an, ini semua tidak lepas dari Alqur'an. Semenjak saya pertama kali tiba di Jogja sampai sekarang terasa sekali kemudahan yang Allah berikan," tutup Yahya.
Yahya adalah salah satu dari ratusan mahasiswa/mahasiswi penerima beasiswa dari program Beasiswa Tahfizh Qur’an (BTQ) for Leaders. Selain biaya kuliah gratis, mereka diberikan bimbingan intensif berbasis tahfizhul Qur’an serta ditatar memiliki jiwa kepemimpinan dan kepedulian sosial. Mereka diharapkan mampu menjadi pemimpin masa depan berjiwa Qur’ani yang membawa perubahan. Aamiin.