Kisah Nailul, Hafidzah Asal Lampung yang ‘Nyantri’ di Rumah Tahfidz Qurrota A’yun Bantul
Nailul Fauziyah merupakan salah satu santri di Rumah Tahfidz Qurrota A’yun Putri, Sedayu, Bantul. Nailul, sapaan akrabnya, adalah santri asal Lampung. Sudah hampir dua tahun ia mukim dan belajar di Rumah Tahfidz Qurrota A’yun. Setelah lulus SMA di kota Riau, ia menjalani kewajiban mengabdi selama setahun di pondoknya sejak sekolah SMP sampai SMA. Baru pada 2019 ia mendaftar nyantri di Rumah Tahfidz Qurrota A’yun ini.
Nailul mulai menceritakan perjalanannya dari sejak di Lampung, Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ibu dan ayahnya adalah petani yang telaten dan sabar di tanah Sumatra. Sedang kakaknya kini juga masih nyantri di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur.
“Ibu dan Bapak memang bukan orang pesantren atau pernah nyantri, tapi ibu mewajibkan anak-anaknya mondok, mungkin karena pakde saya yang orang pesantren dan ibu dekat dengan saudara-saudaranya,” ungkap Nailul.
“Kami juga bukan orang kaya, kalau mau sekolah atau kuliah susah dan mahal, jadi mondok saja, saya pun dari kecil sudah mau mondok. Sekolah sampai SMA juga disuruh, tapi saya sangat bersyukur bisa sekolah,” lanjut remaja 22 tahun ini.
Nailul mulai mengenang masa-masa remajanya yang menghabiskan waktu belajar di Lampung, ia mengaku bukanlah santri yang rajin. “Ketika sekolah saya sering tidur di kelas, PR baru saya kerjain paginya kalau siangnya harus dikumpul,” ungkapnya.
Waktu itu Nailul nyantri di pondok dengan program kajian kitab kuning. Di pesantrennya itu Nailul diwajibkan menghafal 13 kitab, “aku baru nyampe 11 kitab mbak, jadi saya ingin melanjutkan” lanjut Nailul, yang berkeinginan melanjutkan hafalan kitabnya di pondok sebelumnya, setelah nantinya selesai dengan tanggungannya di Rumah Tahfidz Qurrota A’yun.
“Khoirunnas anfa'uhum linnas, saya hanya berusaha memberikan manfaat pada oang lain, apapun yang penting saya lakukan dulu asal itu baik, entah apa manfaatnya di masa depan, yang penting jalani yang terbaik dulu dan ikhlas,” ungkap Nailul yang juga diminta mengajar kitab ni Rumah Tahfidz ini. Ia biasa mengajar Nahwu Shorof dan Bidayah al-Hidayah, salah satu kitab yang berisikan panduan beribadah untuk menuju jalan ketaqwaan yang ditulis oleh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali.
“Aku kalau mengajar tidak pernah niatnya ngajar mbak, jadi saya nggak sebut diri saya pengajar. Bagi saya ketika diminta mengajar itu justru waktu belajar, kita harus belajar lagi, mutholaah lagi. Saya takut ketika saya niatnya ngajar nanti kecewa ketika muridnya tidak bisa atau gimana, dengan niat belajar mungkin saya tidak akan kecewa. Yang penting kalau baik dan manfaat saya jalani saja,” jawab Nailul panjang.
Perjalanan Nailul hingga khatam 30 Juz adalah anugerah besar baginya. Ia mengaku telah tertarik dan mulai menghafal Al-Qur’an sejak SMA, namun karena pesantren Nailul tidak ada fasilitas tahfidz Qur’an, ia akhirnya melakukan setoran hafalan di pesantren sebelahnya. Ia pun biasa menambah hafalan ketika jam istirahat sekolah.
Waktu itu, di pesantrennya memang sudah penuh dengan kajian kitab dan hafalan-hafalan kitab kuning. Apalagi ia juga dipercaya menjadi pengurus di pondoknya, “saya itu niatnya ngabdi,” ungkap Nailul sehingga tidak buru-buru pindah ke pondok tahfidz sebelum selesai mondok yang dijalaninya. Nailul percaya bahwa ilmu tidak hanya didapatkan dengan belajar, ia mengatakan bahwa sejatinya pengabdian itu juga belajar. Sehingga ia pun tak segan ketika diberi kepercayaan di pondok atau membantu mengajar.
Sampai lolos ujian tahfidz dan akan mengikuti Wisuda Tahfidz Nasional Juli 2021 nanti, Nailul hanya bisa berucap syukur sambil membentengi diri untuk tidak cepat puas karena menjaga hafalan dan perilaku, akhlak Al-Qur'an bagi seorang penghafal kalam Ilahi sangat perlu diutamakan. []
Oleh : Umi Nurchayati, PPPA Daarul Qur’an Yogyakarta