UYM : Orangtua Harus Punya Engagement pada Anak
‘’It’s dangerous! Bahaya jika orangtua tidak punya engagement dalam pendidikan anak,’’ tandas Ustaz Yusuf Mansur dalam Kajian Islam Bulanan Istiqlal (KIBI) Ahad (24/2) pagi di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat.
Pengajian rutin tersebut kali ini dihadiri lebih banyak jamaah, lantaran berbarengan dengan Wisuda Akbar Indonesia Menghafal Al Qur’an ke-9 yang digelar PPPA (Program Pembibitan Penghafal Al Quran) Daarul Qur’an.
Memboyong seluruh keluarganya (istri dan lima anak), UYM sapaan akrab Yusuf Mansur mengusung tema parenting pentingnya keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak.
Sebagai cermin, Negera Finlandia di Eropa Utara sudah lama dikenal sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, mengalahkan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan lain-lainnya.
Keberhasilan negara Nordik yang beribukota di Helsinki tersebut tak lepas dari kuatnya peran serta orangtua dalam proses pendidikan (parental engagement). Partisipasi orangtua memungkinkan pihak sekolah tahu bakat anak secara akurat lebih dini jadi apa yang dibutuhkan si anak lebih tersalurkan di sekolah dengan informasi dari orang tuanya ke pihak sekolah. Parental engagement tersebut dilakukan dalam bentuk diskusi bersama orang tua dan staf sekolah.
John dan Linda Friel, dalam bukunya The Seven Worst Things Parents Do, mengingatkan, salah satu kesalahan terbesar orangtua yang dapat menghancurkan mahligai rumahtangga, adalah mengabaikan perkawinan.
Buku Five Key Habits of Smart Dads menunjukkan hasil riset tentang anak-anak yang dibesarkan tanpa peran ayah. Anak-anak malang itu cenderung mempunyai beberapa kekurangan psikologis berupa: kepercayaan diri sendiri yang rendah, tidak mempunyai kepedulian sosial yang baik, sulit untuk menyesuaikan diri untuk keadaan tertentu, resiko yang lebih tinggi untuk perkembangan masalah psiko-seksual.
Para pakar anak dan parenting menyimpulkan hasil riset, bahwa sebagian besar kompleks kejiwaan orang dewasa disebabkan dampak negatif perlakuan buruk yang dialaminya waktu kecil. Sekadar menyebut contoh orang-orang dewasa bermasalah itu misalnya Adolf Hitler, Karl Marx, Benino Musollini, atau Madonna.
Hasil sebuah penelitian terhadap 2000 anak Amerika memperlihatkan adanya kecenderungan kemerosotan ketrampilan emosional dan sosial dasar. Anak-anak Yankee tampak lebih resah, gampang marah, lebih murung, tidak bersemangat, lebih depresi dan kesepian, lebih mudah menurutkan kata hati dan tidak patuh, dan lain sebagainya. Tak heran, acap kali ada murid sekolah ngamuk menembaki teman-temannya sendiri di sekolahnya.
Yusuf Mansur berpesan, faktor engagement ini juga penting dalam proses tahfizhul Qur’an. Misalnya para guru, juga harus terlibat dalam penghafalan Quran (experience). Sehingga, santri-santri lebih termotivasi untuk jadi penghafal Quran.
Karena itulah, semua karyawan PPPA Daarul Qur’an sejak Ketua Yayasan, Direktur Utama, sampai driver dan office boy, wajib mengikuti program tahfizh Quran.
‘’Alhamdulillah, dengan program wajib kantor ini, saya meskipun sudah tua jadi termotivasi untuk menghafal Quran seperti santri-santri,’’ aku Mas Muri, driver Ketua Yayasan Daarul Qur'an Ustaz Anwar Sani, yang tinggal di dekat Rumah Tahfizh Al Azmi Rawakalong, Gunungsindur, Bogor. (Bowo/ARA)