Memetakan Masa Depan Indonesia di Pulau Tunda

Memetakan Masa Depan Indonesia di Pulau Tunda
pppa-daarul-quran
pppa-daarul-quran
pppa-daarul-quran

Tepat pukul setengah tujuh pagi, moncong kapal mulai merapatkan dirinya ke bibir pelabuhan Karangantu, Banten. Beberapa kelompok nelayan datang membawa hasil tangkapan, hasil perjalanan melaut malam hari. Bertumpuk-tumpuk wadah ikan teri dan peyek meluncur dari badan kapal. Siap ditangkap tangan para ibu yang telah menunggu sejak fajar terbit.

"Saya ambil perek," sahut ibu-ibu.

Sambil menatap perahu kapal berlalu lalang, puluhan derap kaki siap meyebrang ke pulau Tunda, Utara Banten. Mesin kapal mulai menggerung. Nahkoda kapal bersiap menjalankan perahu berkapasitas 30 ABK.  Perjalanan pun dimulai.

Di sepanjang perjalanan, nampak beberapa keramba kerang hijau milik kelompok nelayan, berjejer di tengah laut. Sampai akhirnya nanti dipanen setiap tiga bulan sekali. Sebelum dibawa ke pasar. Hewan laut itu akan sampai ke tangan para ibu, untuk dibersihkan terlebih dahulu. Hingga siap dipasarkan.

"Asal bambunya kuat. Terjaga. Aman kerambaya. Dijual 3000 rupiah per kg, kalau masih ada cangkangnya. Jika isinya saja, bisa sampai 15 ribu per kg. Terus dijual ke Pasar Rabu, pasar terbesar. Buka 24 jam," ujar Roni warga Pulau Tunda.

Puluhan pasang mata antusias mendatangi Pulau Tunda. Beberapa percakapan pendek antar abk terjadi di atas kapal. "Dibilang Pulau Tunda karena orang kalau mau nyebrang itu susah. Suka tertunda. "Tunda" asal dari bahasa Sunda. Artinya "menunda" . Susah orang kalau orang mau nyebrang ke Pulau Jawa," tutur lelaki berkulit legam itu.

Lebih jauh, nelayan tersebut menjelaskan kesulitan mereka hidup di Pulau Tunda. Mulai dari akses pendidikan dan kesehatan. "Di sini, sekolah cuma ada sampai SMP. Ada SMK tapi baru berdiri. Kalau mau sekolah tinggi harus ke "darat". Roni menjelaskan.

Dari pelayanan kesehatan pun, tutur Roni, hanya tersedia puskesmas seadanya. Peralatannya tidak memadai. Selain itu, akses layanan kesehatan gratis hanya ada setiap dua kali dalam setahun. "Tidak jarang mbak, kalau banyak warga yang meninggal di tengah laut, di atas kapal, karena sedang perjalanan menuju rumah sakit di kota," pungkas Roni.

50 mahasiswa penerima Beasiswa Tahfizh Qur’an (BTQ) for Leaders ditempa dalam 'Pendadaran Dan Jambore' selama tiga hari di Pulau Tunda,  belajar tentang berbagai macam persoalan hidup warga. Pulau Tunda dipilih karena seperti miniatur Indonesia. Di pulau kecil ini, mahasiswa belajar dari kehidupan nelayan, petani, buruh dan tukang serabutan.

Proses pendadaran ini diharapkan memunculkan jiwa kepemimpinan peserta. Selain itu, mampu memotret kehidupan warga dan memetakan masa depan anak-anak Indonesia di Pulau Tunda.

Ayo terlibat melahirkan para pemimpin berjiwa Qur'ani dengan ikut dalam Gerakan Sedekah Nasional (Gersena). Tahun ini, hasil penghimpunan sedekah akan dialokasikan untuk 30 ribu penghafal Al Quran yang ada di rumah-rumah tahfizh, pesantren takhassus dan para mahasiswa-mahasiswi BTQ for Leaders.