Mereka juga Pahlawan
Kerelawanan itu bicara soal, kelapangan hati untuk dilupakan zaman. Cukuplah langit yang mencatat karena tidak pernah salah apalagi tertukar.
Jika tergoda harap pada panggung dan puja puji, tak cukup hati mempersaksikan ratusan ribu jiwa korban gempa Lombok, yang hari-hari ini kepayahan menghadapi tibanya musim hujan. Saat mereka yang gegap gempita di awal perlahan lenyap dari harap.
Ibu-ibu, perempuan tua muda, membuang jauh soal gengsi dan harga diri. Mereka panggul kayu-kayu yang bagi pundak para pemuda kota, nan tampak gagah di sosial media belum tentu mampu memikulnya.
Jadi merekalah pahlawan itu, pejuang itu, sosok-sosok yang paling pantas dapat apresiasi dan penghormatan. Dalam keterpurukan, kehilangan dan kesusahan, bangkit bergerak, tak menggugat apakah negara hadir atau tidak.
Mereka para ibu tampil jadi pahlawan untuk anak-anak, dan keluarganya. Sementara para suami menyiapkan pondasi recycle house.
Sedangkan sebagian kita, adalah penggembira yang “pura-pura” sangat peduli sebab volunteerism makin dipahami sebagai pekerjaan, bukan lagi pengabdian.
Jadi pahlawan dan penghargaan itu hak nya para korban yang bangkit, sementara kita masih jauh panggang dari api.