Siang itu, matahari terasa sangat terik menyinari Kampung Paktuk, Gunung Kidul, D. I. Yogyakarta. Rumput dan pepohonan di kanan kiri jalan kering. Sesekali gumpalan debu ikut terbang mengikuti arus angin laju kendaraan. Batu-batuan purba yang hitam pun mengkilat.
Di atas sana ada pendopo terbuka, lengkap dengan tikar-tikar panjang, beberapa mukena, dan mushaf Al-Qur’an di sela-sela rak. Juga rumah limasan dari kayu sederhana yang berdiri persis disamping pendopo itu. Puluhan bocah-bocah kampung berdatangan kesana lengkap dengan baju muslim mereka.
Dari dalam rumah limasan itu, ada sapaan lantang yang sudah tidak asing lagi. Ia adalah Ustadzah Nur Hayati (43), pengelola Rumah Tahfidz Nurul Qur’an Gunung Kidul. Hari ini, ada sekitar 80 santri yang mengaji dan menghafal Al-Qur’an di rumah limasan ilik keluarganya ini.
Sekitar 35 santri diantara mereka bermukim dan bersekolah gratis disini. Dengan bantuan kakak dan tetangganya, Ustadzah Nur merawat dan mengajarkan hafalan Al-Qur’an kepada mereka. Rata-rata, mereka sudah memiliki hafalan 5 sampai 15 juz.
“Ya kaya gini kondisinya, saya ndak punya apa-apa, cuman dulu pernah dapat mimpi pas di pondok. Saya punya santri penghafal Qur’an yang banyak sekali. Sekarang, alhamdulillah, meskipun fasilitas santri ala kadarnya, yang penting santri bisa makan nasi sayur tiap hari, sudah cukup. Biar mereka juga ikut prihatin,” terang Ustadzah Nur dengan mata yang terus berkedip-kedip.
Prihatin, kata yang terus ia tegaskan dalam perbincangan kami. Ia berharap agar setiap hafalan santri memiliki kisah perjuangan untuk terus dipertahankan. Bukan sekedar menerima setoran hafalan dan selesai, tetapi memastikan bahwa hafalan santri benar-benar akan melekat didalam hati mereka.
Ustadzah Nur banyak berbagai cerita, atas cobaan dan perjuangan beliau untuk menjadi seorang hafidzah. Mulai dari lumpuh kaki selama menghafalkan Al-Qur’an, kehancuran keluarga kecilnya, hingga difonis gangguan jiwa seumur hidup.
“Saya tiap hari harus minum obat mbak, kalau ndak ya bisa kambuh. Kalau sudah kambuh semuanya tidak bisa saya kontrol. Bicara sendiri, diam, dan ndak bisa ngajar santri, saya sudah 15 kali masuk rumah sakit jiwa,” tutur Ustadzah Nur.
Alhamdulillah, ia dipertemukan dengan Dokter Ida, yang sangat memahami setiap keluahan sakit yang beliau rasakan. Kini penyakit Ustadzah Nur sudah tidak pernah kambuh lagi. Ia justru ditugaskan Dokter Ida untuk mengisi kajian di RSUD Wonosari, Gunung Kidul setiap bulannya. Sebuah kehormatan baginya yang awalnya pasien rumah sakit jiwa justru mendapat amanah menjadi asatidz di rumah sakit. (runti/ara)