Bukan Hidup yang Jalan-Jalan
Yogyakarta (31/12). Kemauan publik untuk merayakan malam pergantian tahun tidak selalu menghadiri hingar bingar petasan, terompet, dan padatnya jalan raya. Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bergelimang air mata dan isak muhasabah diri pada malam tahun baru 2018 lalu. Sekitar empat ratus jamaah duduk menyimak dua pembicara dan beberapa video pendek program PPPA Daarul Qur’an dalam agenda Dzikir Munajat: Muhasabah Akhir Tahun.
Ratusan jamaah tersentak dan merenungi amal selama satu tahun. Betapa tidak, Ust. Didik Purwodarsono, pengasuh pesantren Miftahunnajah, melalui i'tibar Surat Al-Fatihah mengingatkan tentang tiga jalan yang terbiasa dilalui manusia. Tiga jalan itu adalah jalan yang diberi nikmat, jalan yang dilaknat, dan jalan yang sesat.
“Kita ini sebagai manusia, biasanya diberi nikmat ya diterima, dilaknat ya tidak apa-apa, dan sesat juga sudah terbiasa. Karena kita hidup untuk jalan-jalan, bukan untuk berjalan,” sentil Ust. Didik kepada semua jamaah yang hadir.
“Lalu apa yang sudah kita siapkan untuk bekal bertemu Izrail yang sewaktu-waktu bisa datang? Jadi mujahid tidak berani, shadiqin belum siap, jadi orang shalih juga nanggung. Coba dibuka surat Al-Munafiqun ayat 10, manusia meminta waktu pada Allah SWT. biar bisa bersedekah dan menjadi orang shalih sebelum maut,” tambah Ust. Didik membuat jamaah diam dalam bertambahnya tafakkur.
Ulama dengan logat Jawa kental ini pun menjelaskan setidaknya ada lima ciri orang-orang shalih menurut Allah SWT. dalam surat Ali Imran 113-114 yaitu terbiasa membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, orang-orang yang sujud, bukan saja percaya namun juga menaruh kepercayaan pada Allah SWT., amar makruf nahi munkar, dan bersegera dalam mengajak ke kebaikan. “Adakah ciri ini pada kita?” tanya Ust. Didik berharap ada jamaah mengaminkan.
Ust. Ahmad Irfan menambahkan bahwa hidup tanpa sandaran itu terasa melelahkan. Ibarat nikmatnya duduk bersandar di tiang masjid saat Sholat Jumat, apalagi hidup yang bersandar pada yang Maha Kuasa dan mengatur apa saja yang ada di langit dan di bumi. Assatidz dan konselor PPPA Daarul Qur’an ini menjelaskan bahwa banyak sekali tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. yang ada pada diri dan sekeliling kita dan seringkali tidak terlihat dan diyakini.
Muhasabah dimulai meriuhkan isak pada malam yang mulai larut. Betapa abainya kita menaruh kepercayaan pada Allah SWT., hidup bersandar pada mata dan telinga, bukan pada hati yang bisa membaca tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. hingga hidup ini berjalan membaca tanda pada alam, wahyu Allah, dan kehidupan. Bukan sekedar hidup yang jalan-jalan memenuhi hasrat dunia.
Tangis jamaah bertambah haru, malam menjelma syahdu, Ust. Irfan menyulut imajinasi jamaah pada orang tua masing-masing. Buruknya amal, jauhnya ciri orang sholih pada diri, sepertinya menggagalkan tulus doa orang tua dahulu, “Rabbi habli minashsholihiin...” Dzikir Munajat malam tahun baru lalu ditutup dengan sebanyak-banyak doa memohon ampun dan petunjuk. Setidaknya, agar Allah SWT. membimbing selama setahun ke depan dan juga menunjukkan tanda-tanda agar hidup tidak sekedar untuk jalan-jalan.