Keluarga Pejuang Qur'an dari Madiun

Keluarga Pejuang Qur'an dari Madiun
pppa-daarul-quran
pppa-daarul-quran
pppa-daarul-quran

Enam kali berpindah tempat menjadi satu-satunya pilihan Ustadzah Aminah (47) dan keluarganya. Keputusan hijrah dari kota kelahirannya, di Bangkalan Madura, pasca kepergian mendiang suaminya seolah membuka halaman derita kehidupan keluarga Aminah di Madiun. Pengusiran dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya dialami Aminah dan kedua anaknya sejak 1996 hingga 2017. Air matanya hari ini tidak lagi menetes atas peristiwa perpindahan, bahunya sudah terlalu kokoh hingga menurun pada semangat dua anaknya yang ikut mewakafkan diri untuk syiar Qur’an di satu daerah yang beriwayat pada pemberontakan pada kaum agamis pada kisaran 1948.

Ada kesetiaan pada jalan Qur’an yang ditempuh satu keluarga ini. Juga berlinang doa dalam gerak sunyi syiar Qur’an di 500 meter sebelah utara stasiun Caruban. Bagaimana tidak, seluruh beban hidupnya ditopang dengan adonan krupuk terigu dan kanji yang dititipkan ke warung tetangga. Keuntungan dua puluh ribu rupiah per minggu yang belum tentu mereka dapat pun tidak mengurangi rasa cintanya kepada Alqur’an sedikitpun. “Saya kasihan melihat anak-anak warga tidak mengenal agama karena orang tuanya abangan,” terang Ustazah Aminah, suara beratnya pada malam takbiran (21/8) lalu membuka mata berat tim PPPA Daarul Qur’an yang berkunjung.

Perilaku abangan masyarakat perlahan memudar, masa peralihan untuk ikhtiar taat pun belum sepenuhnya sempurna, sepertinya tidak ada lagi yang bisa diwariskan para orang tua untuk anak cucunya kelak selain pesatnya laju informasi dan modernitas yang minim adab dan akhlak. Alasan menyayat hati Ustazah Aminah sehingga memutuskan hidupnya dan keluarga hanya untuk berdakwah. Sejak 1996, hafalan Alqur’an 150 santri berjalan dalam keistiqomahan keluarga Aminah di bawah TPA Hidayatul Muhibbin. Perubahan status janda ibu dua anak ini tidak menuyurutkan dakwahnya sejak tahun 2007.

Keterbatasan yang dihadapi keluarga Aminah justru menjadi wasilah, anaknya Ustad Imam dan Ustadzah Mahmudah telah menamatkan pendidikannya dari Pondok Pesantren Tambak Beras di Jombang. Hingga saat ini keduannya selalu mendampingi sang ibu dalam mengajarkan hafalan santri di rumah, yang lagi-lagi masih kontrakan. Ustad Ziyad, suami Ustazah Mahudah, pun juga turut andil dalam mengurus ratusan santri. Sungguh barisan dakwah keluarga ini sangat rapih.

Faza (1) cucu Aminah dari pasangan Ustadz Ziyad dan Ustadzah Mahmudah menjadi saksi keras perjalanan keluarga pejuang Qur’an ini. Selama dalam kandungan Ustadzah Mahmudah, Faza ikut empat kali berpindah kontrakan. Setelah lahir, belum genap dua bulan usianya, Faza menyaksikan pengusiran kasar dari sang pemilik kontrakan. Rupanya pemilik rumah tempat pembibitan ratusan cahaya Qur’an ini mengingkari janji hibah hak gunanya. Ancaman pidana dan bentakan kasar dilontarkan di antara bacaan Qur’an puluhan santri. Seketika bacaan Qur’an pun terdiam, mencekam. Pengusiran paksa sore itu membekas keras, rumah pengusiran itu kini menjelma ruko megah dua lantai.

“Selama masih memperjuangkan Qur’an, saya yakin suatu saat Allah pasti memutar roda kehidupan kami,” ringkas Ustad Imam, anak pertama Aminah, menutup luka dengan persangkaan yang baik. Senyumnya selalu lebar, sejak pertama ia membukakan pagar di malam tim PPPA sampai di sebuah kontrakan dekat Masjid Al Arifiyah, masjid tertua di Caruban.

Semangat keempat pengajar Qur’an ini bagai jajaran pejuang yang searah yakin atas keagungan Allah SWT. Harapan besar atas segala cobaan, mereka yakini akan segera berakhir tanpa mengurangi ketauhidan kepada Sang Maha Kuasa. Amalan lantunan surah Al Waqiah bersama para santri selama 40 hari dengan pamrih segera mendapat tempat tetap untuk mengaji. Dalam gagasan dan bayangan satu keluarga ini rupanya hanya ada tiga azam, yakni mengaji, mengaji, dan mengaji.

Satu masa terlewati. Himpitan keadaan memaksa keluarga ini menerima tawaran warga untuk menempati rumah kosong tak layak. Satu ruang ukuran 4x5 meter ini berdinding kayu sisa kunyahan rayap tidak lagi tegap berdiri. Lubang sela bawah satu-satunya pintu menjadi jalan tikus-tikus got besar pinggir jalan, juga angin malam untuk masuk. Air hujan mengguyur ruangan dari atas dan jalanan setinggi mata kaki sudah biasa mereka nikmati bersama goyangan angin di atap rumah. Hebatnya, aktivitas mengaji para santri tetap berjalan di rumah bak kandang ternak ini. Kasur menjadi alas duduk santri, bantal tidur keluarga adalah sandaran mushaf saat mengaji.

Deraian musibah malah menguatkan keluarga Aminah dan para santri untuk senantiasa tegar mendawamkan Qur’an. Lantunan doa mereka mulai diijabah Allah SWT, lantaran program Simpatik Guru dari PPPA Daarul Qur’an sejak awal tahun 2017. Keluarga Qur’an ini menerima dukungan finansial rutin hingga sekarang. Kebutuhan harian untuk hidup mulai tertutupi.

Jawaban doa mereka mulai terjawab. Buah kesabaran di jalan dakwah diijabah oleh Allah SWT. Tawaran salah seorang warga Desa Krajan, Madiun dengan kontrakan layak huni di akhir 2017 menyambangi keluarga ini untuk satu tahun kedepan. Meskipun demikian, sholawat nabi selalu mereka lantunkan agar September esok ini tidak mengulang musibah pengusiran pada akhir masa kontrak. Semoga keluarga Ustazah Aminah beserta ratusan santrinya tetap menegakkan Qur’an dan senantiasa termasuk dalam orang-rorang yang dimuliakan Allah SWT. Aamiin.