Hafizh di Balik Dinding Bambu

Hafizh di Balik Dinding Bambu
pppa-daarul-quran
pppa-daarul-quran
pppa-daarul-quran

Susunan bebatuan sepanjang perjalanan menuju sebuah tempat menimba ilmu di Dusun Sarwodadi Lor, Desa Gadingrejo, Kecamatan Kepil, Wonosobo, Jawa Tengah. Di ujung jalanan menuju atas bukit terdengar bising suara lantang kegiatan pembelajaran di bangunan setengah jadi. Dinding bambu yang ditata menjulang ke atap tidak mampu meredam riuh suara aktivitas kelasnya. Debu halaman kelas dan kegiatan pembangunan sepertinya sudah mengakrabi semua santri di dalamnya.

Dari jalan masuk menuju bangunan terlihat ratusan santri duduk rapih dari dinding-dinding bambu madrasah yang berlubang. Wajah para santri tertuju ke sudut depan ruang kelasnya. Sesekali tetesan keringat para santri menetes dan berkilau karena pantulan sinar matahari di atap seng ruang kelasnya. Gerah, berulang kali para santri mengusap dahi hingga pipinya, juga mengibaskan lembaran kertas kumal untuk mengambil angin segar di tengah pembelajaran Alqur’an.

Saat yang sama, seorang remaja lelaki berpeci hitam berdiri di depan pintu dengan muka lusuhnya. Tubuhnya jangkung, dan sangat lugu terlihat berbeda dengan santri lain. Mata sembabnya mengungkapkan banyak pertanyaan. Tak sepatah kata dikeluarkan dari mulutnya. Pandangannya terus tertuju pada gerak-gerik Tim PPPA Daarul Qur’an, hingga memasuki salah satu ruangan yang ternyata itu adalah ruang kelasnya.

Namanya Imam Arif (18), pemuda asal Lampung yang membulatkan tekadnya untuk mengaji di tanah rantau. Anak sulung ini sedang berusaha menjadi uswah (teladan) untuk ketiga adiknya. Motivasinnya sederhana yakni ingin menghafal Alqur’an yang menjadi amanah ayah ibunya. Ayahnya seorang pedagang warung kelontong kecil-kecilan di rumah, sedangkan ibunya tidak bekerja. Kondisi ekonomi keluarga tidak membelokkan niat kuatnya untuk terus menimba ilmu agama. Cita-cita Imam Arif sederhana, “Saya ingin menjadi ustad di Lampung”.

Lingkungan pondok salaf An-Nawawi tidak membuatnya mengurungkan niat untuk murajaah hafalannya. Imam sedang duduk di bangku kelas 11. Prestasinya dikenang kalangan ustad dan ustazah, juga para santri dalam menghafal Alqur’an. Tidak heran jika jumlah hafalannya melebihi santri-santri lainnya.

Tekat Imam untuk menghafal Alqur’am sangat kuat. “Saya ingin menjadi hafizh Qur’an karena pengen ngasih mahkota ke orang tua saya, inilah sebaik-baiknya pemberian untuk mereka,” ujarnya dengan mata berkaca.

Bertambah kuat dengan dorongan menghafal Alqur’an dari Nihayati (53), salah seorang pengasuh Pesantren An-Nawawi yang juga penerima manfaat Program Simpatik Guru dari PPPA Daarul Qur’an. Semoga program Simpatik Guru senantiasa memberi manfaat untuk para santrinya. Rasa rindunya kepada kedua orang tua dan ketiga adiknya di Lampung memang tidak mampu dia tutupi. Semua itu dia korbankan sekaligus menjadi semangat untuk keinginan kuatnya menjadi seorang pengajar Alqur’an di kota kelahiran.