Melebur di Akar Rumput

Melebur di Akar Rumput
pppa-daarul-quran
pppa-daarul-quran
pppa-daarul-quran

Matahari begitu terik, panasnya menyengat kulit dan membakar keringat. Bendera merah putih pun masih terlihat kokoh berdiri di bibir pantai. Walaupun, ombak sesekali mencoba menggoyahkan tiangnya. Deburan ombak memburu, menggebu-gebu menyerbu barisan karang. Suaranya bergemuruh saling bersahut-sahutan dengan yel-yel sekelompok pemuda berseragam kaus merah.

Di depan tenda-tenda berwarna merah dan kuning, mereka meneriakkan semangat dalam acara Jambore dan Pendadaran Beasiswa Tahfizh Qur’an (BTQ) for Leaders angakan ke II, Jum’at (13/4). Hamparan laut lepas dan pohon-pohon liar di hutan menjadi saksi kegiatan para peserta selama tiga hari di Pulau Tunda, Banten.

Tak mengherankan jika kader BTQ harus menyebrang air dan melewati hutan untuk melakukan aktivitas. Di sana, air tawar bagaikan oase di gurun pasir yang panas, hanya ada satu sumur terdekat yang dapat digunakan, itupun harus melewati semak belukar rumput ilalang yang membuat kulit gatal.

Bukan tanpa alasan Pulau Tunda dipilih sebagai lokasi Jambore dan Pendadaran tahun ini. Pulau ini merupakan pulau terpencil di sebelah Utara Teluk Banten dengan luas sekitar 300 hektare. Pegiat Kemanusiaan Sunaryo Adhiatmoko yang jadi salah satu pembicara dalam acara ini mengungkapkan kekhawatirannya tentang Pulau Tunda.  “Saya khawatir pulau ini akan hilang, akan direklamasi. Jadi ada masanya, kader-kader BTQ meleburkan diri dengan orang-orang yang menderita dan membela mereka,” ujarnya.

Mas Naryo sapaan akrabnya, menyematkan harapannya terhadap para santri BTQ untuk menjadi pemimpin ideal, hafizh Qur’an dan berpihak pada masyarakat akar rumput. “Hari ini tidak ada yang memperjuangkan masyarakat biasa, karena orang tinggi terlalu kementhus (sombong) dan sulit diraih. Maka kader BTQ harus bisa jadi pemimpin yang ideal,” ucapnya.