Rakitan Bingkai Dahwah Yahya
Menjadi seorang mubaligh yang siap menyusuri setiap sudut negeri dengan berbagai keragaman paham bukan hal mudah. Metode pendekatan personal secara langsung menjadi trik jitu sampainya dakwah hingga kedalam keyakinan mereka. Perlahan-lahan namun pasti. Perubahan unsur budaya yang melanggar syariah Islam tanpa menghilangkan prosesinya menjadi cara aman untuk menghindari perselisihan paham. Inilah prosesi dakwah Islam oleh mubaligh nusantara.
Muhamad Yahya, penerima program Beasiswa Tahfizh Qur’an (BTQ) PPPA Daarul Qur’an sudah terjun di lapangan mubaligh selama 5 tahun. Setiap bulan Ramadan, Yahya bermukim di beberapa desa wilayah Sulaesi Selatan untuk menyampaikan ajaran Islam. Keyakinan lokal yang mengandung syirik harus dia perangi. Hingga kini keberadaan mereka pun belum hilang dipermukiman muslim. Perayaan pesta dalam bentuk konser musik tepat didepan masjid saat acara pengajian sudah menjadi hal lumrah. Begitulah bentuk protes sosial warga menyambut kedatangan Islam.
Pada 2017 lalu, anak seorang pedagang toko kelontong di terminal Sulawesi Selatan ini mendapatkan beasiswa program BTQ. Beban dan tanggungannya sebagai anak sulung dengan empat bersaudara ini semakin terasa lebih ringan. Fasilitas dana yang dia dapatkan menjadi penutup seluruh biaya pendidikan dan biaya hidupnya di Jogja. Dalam 3 semester berjalan, dia telah menyelesaikanhafalannya hingga 9 juz. Kegiatan belajar mengajar di Graha Tahfidz Daarul Qur’an, pelatihan leadership BTQ dan perkuliahan UIN Suan Kalijaga jurusan Ilmu Alqur’an Tafsir juga memperkaya pengetahuannya dalam bidang dakwah.
Ustad Yahya, begitulah panggilannya di Graha Tahfidz Daarul Qur’an. Kecakapan ilmunya dia salurkan untuk menjadi tenaga pengajar pada kelas tahfidz ikhwan, tahsin warga, tahsin takmir, dan bahasa arab. Tidak hanya itu, tahun pertama sejak kedatangannya di Yogyakarta dia telah menjadi imam dan takmir masjid komplek perumahan elit Casagrande Yogyakarta.
Perjalanannya dalam mempermudah hubungan manusia dengan Sang Kholiq seolah mempermudah seluruh kebutuhan hidupnya di tanah rantau. Ketika dirinya mengundurkan diri dari masjid Casagrande karena keterbatasan waktu, dia langsung mendapatkan tawaran tempat tinggal gratis beserta makannya dari salah satu warga. Tepatnya di Jalan Perumnas, Seturan, Yogyakarta. Itulah berbagai nikmat mubaligh yang istiqomah mendakwahkan Islam di tanah rantau.
Seluruh bekal-bekal dakwah telah ia rakit. Materi dan pengalaman di dunia dakwah Islam sudah siap untuk dibumikan. Kelak ketika sudah selesai masa pengabdian BTQ, Yahya berencana untuk kembali berdakwah menyusuri pedesaan. Menjadi seorang mubaligh ialah sebuah bagian dari hidupnya. Berjalanlah Yahya, serukan Qur’an untuk negeri. Semoga Allah SWT mempermudah tersampaikannya hidayah lantaran perjalananmu. Aamiin.