Watri, Sang Suluh Keluarga
Tampak beberapa barisan santriwan dan santriwati sibuk mempersiapkan hafalannya, sambil menunggu giliran untuk menyetor ke pimpinan dan pengasuh Rumah Tahfizh Daarul Qur’an Ciseeng, Ustadz Muzamil. Aktivitas tersebut adalah pemandangan yang lazim setiap pagi di Rumah Tahfizh yang lokasinya tak jauh dari pemandian air panas gunung kapur Ciseeng, Bogor, Jawa Barat.
Salah satu yang sedang setoran hapalan adalah Warti Vannyola (22). Warti lulusan SMA di Purbalingga, Jawa Tengah. Sejak 2015 ia bermukim di Rumah Tahfizh Daarul Qur’an Ciseeng. Hafalannya kini sudah mencapai 20 juz.
“Selesai SMA, saya disarankan keluarga untuk masuk pesantren. Saya dulu benar-benar mulai dari nol. Empat tahun lalu saya datang ke Rumah Tahfidz Daarul Qur’an Ciseeng ini memang sama sekali belum bisa membaca hijaiyah. Waktu itu pun saya masih belum berhijab. Alhamdulillah, para senior dan guru di sini mau sabar dan membantu saya belajar agama dan khususnya menjalankan hidup sesuai tuntutan agama,” ujarnya.
Watri termasuk santri yang berprestasi di Rumah Tahfizh Daarul Qur’an Ciseeng. Ustadz Muzamil mengakui keistimewaan santri asuhnya ini. “Jago masak, tekun, pandai menjaga santri-santri juniornya dan hafalannya termasuk bagus,” ujarnya.
“Harus tanamkan pikiran bahwa kita bisa menghafal.” Demikian ketika ditanya, apa tipsnya untuk sukses menjadi penghafal Al-Qur’an. Soal cita-cita? Ia berharap bisa menjadi penulis. Meneruskan bakatnya sejak dulu ketika masih sekolah dan pernah mengikuti lomba-lomba menulis cerpen.
Jalan hidup Watri memang penuh liku. Syukur Muntoib (42), ayahnya, menikah dua kali dan keduanya berakhir dengan perceraian. Kakak Watri berasal dari istri pertama. Sementara Watri dan kedua adiknya dari istri kedua. Mereka memilih ikut bersama sang ayah. Namun karena sang ayah harus bekerja di Jakarta, dan ibu jauh terpisah di Bekasi, Watri bersaudara harus tinggal bersama sang kakek di desa kelahirannya. Hari-hari masa kecilnya yang jauh dari orang tua dijalani dengan penuh keikhlasan. Di hati kecilnya, ia berharap dapat kembali menyatukan kedua orang tuanya.
Wafatnya sang kakek pada 2015, sungguh mengubah garis hidup Watri. Sebagai cucu kesayangan, ia mendapat wasiat khusus dari kakek. “Kamu harus nyantri. Masuk pesantren. Biar paham agama. Agar bisa jadi cahaya di keluarga kita.” Begitu pesan terakhir sang kakek kepada Watri.
Menjadi suluh buat keluarga. Itulah harapan terbesar Watri. Ia rela meninggalkan masa remajanya untuk menjadi pejuang Al-Qur’an. Ia ikhlas berasyik masyuk dengan lembaran-lembaran Al-Qur’an daripada menggenggam gawai yang sudah menjadi gaya hidup remaja seusianya. Aktivitas hariannya sudah dimulai sejak pukul 03.00 pagi; Qiyamullail untuk sudah mengawali hari-harinya. Dilanjutkan dengan menghafal Al-Qur’an mulai bakda subuh sampai pukul 08.00.
Menimba ilmu agama dan menjadi hafizhah sudah jadi tekad Watri guna memenuhi pesan sang kakek. Ia percaya, dengan menjadi penghafal Al-Qur’an, sang kakek akan ikut merasakan keberkahan dan syafaat Al-Qur’an. Ia pun bertekad baru akan kuliah setelah benar-benar menghafal 30 juz. Namun, ada sebait doa yang ia selipkan dalam setiap munajatnya. Watri ingin hidup sebagai keluarga yang utuh. Ia ingin menyatukan kembali kedua orang tuanya. Semoga Allah mudahkan keinginannya. Aamiin. [diki/mnx]