Berikut Pembagian dan Syarat Menjadi Seorang Amil Zakat
Dalam menjalankan tugas mengelola zakat, seorang amil (petugas) harus memiliki persyaratan khusus sehingga mampu menjalankan amanat yang diberikan oleh muzakki (orang yang berzakat).
Dalam menjalankan tugas mengelola zakat, seorang amil (petugas) harus memiliki persyaratan khusus sehingga mampu menjalankan amanat yang diberikan oleh muzakki (orang yang berzakat).
Dari sisi kewenangan dan tugas yang diembannya, amil sendiri terbagi menjadi dua jenis sehingga syarat kualifikasi yang harus dipenuhinya pun berbeda pula.
Hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 2017 yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat menyebutkan bahwa amil dibagi menjadi dua.
Pertama adalah ‘amil tafwidl, yaitu amil yang diberi kewenangan secara menyeluruh untuk mengurusi harta zakat. Kedua, ‘amil tanfidz, yaitu amil diberi kewenangan terbatas dalam mengurusi zakat seperti diberi tugas sebatas memungut dan mendistribusikannya.
1. ‘Amil tafwidl
Ada sembilan syarat yang harus dimiliki ‘Amil Tafwidl yakni (1) orang yang merdeka (bukan budak) (2) laki-laki (3) mukallaf (4) adil dalam seluruh kesaksian (5) beragama Islam) (6) memiliki pendengaran yang baik (7) memiliki penglihatan yang baik (8) memahami dengan baik fiqih zakat (9) bukan keturunan Bani Hasyim.
Namun menyangkut syarat laki-laki terdapat pendapat yang tidak mempersyaratkannya. Ibnu Muflih Al-Hanbali dalam kitab Al-Furu’ menyatakan bahwa dari apa yang terlihat (zhahir) mengarah kepada tidak dipersyaratkan laki-laki untuk amil zakat.
Sementara dalam kitab Al-Mubdi’-nya, Ibnu Muflih menyatakan bahwa dalam konteks ini terdapat catatan (fihi nazhar) dari aspek ketiadaan dalil yang menunjukkan adanya persyaratan laki-laki dan dari sudut alasan terkait dengan wilayah (kekuasaan) yang dikemukakan oleh para ulama.
Kendati demikian, atas pertimbangan hal tersebut, maka Musa bin Ahmad Al-Hijawi dalam kitab Al-Iqna’-nya menyatakan bahwa dipersyaratkannya laki-laki itu lebih utama (awla). Hal ini tentunya dibanding dengan pendapat yang menyatakan tidak diperlukan adanya persyaratan laki-laki.
Para ulama seolah-olah tidak mencantumkan secara tegas persyaratan laki-laki karena dianggap sudah jelas. Demikian sebagaimana dikemukakan oleh Manshur bin Yunus Al-Bahuti dalam kitab Kasysyaf Al-Qina’ ‘an Matn Al-Iqna`.
Sementara persyaratan amil tidak termasuk keturunan Bani Hasyim juga diperselisihkan oleh para ulama. Bolehkah keturunan Bani Hasyim menjadi amil?
Dalam Madzhab Syafi’i sendiri terjadi silang pendapat. Masing-masing didukung dengan dalil, namun menurut Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Baghawi, dan mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i yang paling sahih adalah pendapat yang tidak memperbolehkan. Hal ini disebutkan Muhyiddin Syarf An-Nawawi dalam kitab Al- Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab.
2. Amil tanfidz
Adapun syarat yang harus dipenuhi seseorang bisa diangkat menjadi ‘amil tanfidz adalah hampir sama dengan ‘amil tafwidl, tetapi lebih longgar. Dalam konteks amil tanfidz tidak disyaratkan harus menguasai fiqih zakat, begitu juga tidak harus laki-laki, orang yang merdeka, dan Islam. Kelonggaran ini karena tugas ‘amil tanfidz titik tekannya lebih kepada keperantaraan (sifarah/risalah) bukan kewenangan kekuasaan (wilayah).
Atas dasar keperantaraan bukan kewenangan kekuasaan, Imam Al-Mawardi tidak memasukan Islam sebagai syarat ‘amil tanfidz. Namum menurut Imam Muhyiddin Syarf An-Nawawi, pandangan ini mengandung kemusykilan. Karena itu maka pendapat yang dipilih (Al-mukhtar) adalah pendapat yang menyatakan tetap mensyaratkan Islam bagi ‘amil tanfidz.
Tunaikan zakat bersama Laznas PPPA Daarul Qur'an. Klik di sini untuk berdonasi!
Sumber: NU Online