Tuli Mengaji Gerakan Pengentasan Buta Aksara Al-Quran untuk Muslim Tuli
Literasi Al-Quran di Indonesia rupanya menjadi permasalahan krusial yang membutuhkan perhatian lebih serius. Bayangkan, menurut hasil riset IIQ Jakarta tahun 2023, persentase buta aksara Al-Quran di Indonesia sekitar 58,57 persen sampai dengan 65 persen. Padahal, riset ini masih mencakup warga negara yang tidak berkebutuhan khusus, dimana akses pendidikan Al-Quran telah terbuka lebar. Video edukasi Al-Quran telah menjadi konten gratis yang bisa dikonsumsi di berbagai platform digital dan media sosial. Pesantren dan Lembaga Pendidikan Al-Quran (LPQ) kini menjamur di berbagai sudut kota, bahkan di plesiran pedesaan. Lembaga Pendidikan Umum pun juga menyediakan menu pembelajaran Al-Quran dalam bentuk ekstra hingga intrakurikuler.
Lalu, bagaimana nasib para penyandang disabilitas tuli yang berpredikat muslim, dimana mereka hanya bisa mengenal tulisan melalui isyarat? sedangkan hingga saat ini lembaga yang bisa memfasilitasi maupun pengajar yang memiliki kompetensi mengajar Al-Qur'an Isyarat masih sangat langka? Bahkan Al-Qur'an Isyarat juga baru disahkan pada tahun 2022 lalu. Kasus ini semacam kian menambah deret panjang persoalan literasi Al-Qur'an di Indonesia. Namun, demikian realitanya. Bagaimanapun juga, para muslim tuli juga warga negara yang memiliki hak yang sama di depan hukum sebagaimana warga negara pada umumnya. Termasuk hak memperoleh akses pendidikan yang inklusif.
Fenomena ini menjadi potret bahwa literasi aksara Al-Qur’an untuk kalangan disabilitas tuli memang masih belum tersentuh. Tingkat literasi berhubungan dengan akses, baik dari segi wadah hingga pengajar yang berkompeten dalam bidang yang bersangkutan. Jangankan aksara Al-Qur’an, literasi bahasa saja mereka masih cukup rendah, dimana ini berdampak pada kemampuan komunikasi dan berinteraksi, pemahaman hingga cara mereka menanggapi sesuatu. Ada jurang kekosongan yang cukup lebar dan masih sangat minim dijamah oleh para pihak yang berwenang, yaitu terkait literasi aksara Al-Qur’an untuk muslim tuli.
Beruntungnya, para muslim tuli tidak berdiam diri menunggu fasilitas berupa akses pendidikan Al-Qur'an isyarat itu dihidangkan di depan mata oleh negara. Mereka bergerak mandiri tanpa arahan, seperti mencari jati diri spiritualitas yang hilang. Bagaimana tidak hilang? Al-Qur'an adalah pedoman umat muslim dalam berkehidupan. Ibaratnya, saat sebagian memilih berjalan, sebagian lain juga ada yang berdiam menerima keadaan, tapi ada segelintir orang, satu atau dua kepala, yang rela berlari lebih kencang. Mereka bergerilya diam-diam mencari hingga menemukan bagaimana cara belajar Al-Qur'an isyarat demi bisa mengajarkan kepada sesamanya. Keterlambatan bukan berarti sebuah ketertinggalan. Terlebih, tidak ada kata terlambat untuk belajar Al-Qur'an. Itulah, prinsip yang mereka tutur dan teguhkan kepada setiap muslim tuli yang belajar Al-Qur'an isyarat.
Maka, tidak heran jika pembelajar Al-Qur'an Isyarat tidak mengenal usia. Karena usia hanyalah angka, bukan batas seseorang untuk belajar. Tak ada istilah dan kategorisasi bahwa tema pembelajaran huruf hijaiyah hanya diperuntukkan anak dengan rentang usia tertentu. Dari usia belia, dewasa, hingga lansia, mereka tertatih secara perlahan belajar mengenal satu per satu dari huruf Al-Qur'an yang isyaratnya baru dibakukan pada tahun 2022 oleh LPMQ. Ya, mereka baru mengisyaratkan hijaiyah. Lalu, dari huruf, beranjak ke harakat, berlanjut ke huruf bersambung, baru menuju sebuah ayat. Ini adalah serangkaian pembelajaran yang tidak singkat bagi mereka. Namun, Perjalanan panjang itu belum selesai hanya di ranah membaca, melainkan juga dalam hal menuliskannya. Mereka juga baru mengenal bagaimana menulis huruf hijaiyah yang benar dan sesuai dengan kaidah.
Gerilya diam-diam yang dilakukan oleh segelintir orang itu ternyata bergerak secara bersamaan meskipun tidak serentak dan belum merata di banyak wilayah. Ternyata mereka telah berjejaring melalui komunitas-komunitas yang diinisiasi secara mandiri maupun bentukan dari pemerintah, seperti Gerkatin, Peduli, dan komunitas untuk tuli lainnya. Tentu ini membutuhkan sebuah gerakan yang masif agar literasi aksara Al-Qur'an dapat menjangkau kalangan muslim di seluruh wilayah.
Gerakan Tuli Mengaji pun diinisiasi oleh PPPA Daarul Qur'an dengan misi mencetak para pengajar Al-Qur'an Isyarat yang berkompeten secara nasional di 17 provinsi. Tuli Mengaji adalah gerakan yang berfokus pada terbuka dan tersedianya akses pendidikan Al-Qur'an Isyarat untuk Muslim Tuli di Indonesia. Harapannya Gerakan Tuli Mengaji tidak hanya menyasar pada muslim tuli, melainkan juga para orang tua yang memiliki anak penyandang tuli, hingga para pengajar Al-Qur'an di berbagai Lembaga Pendidikan Al-Qur'an, agar tercipta pendidikan Al-Qur'an yang inklusif dan tersedia luas.
Gerakan Tuli Mengaji juga menjadi wadah besar yang menyatukan gerakan-gerakan kecil yang berjalan secara mandiri dan independen, sehingga dapat dilakukan monitoring mengenai keselarasan pembelajaran Al-Qur'an Isyarat dengan kaidah LPMQ Kemenag RI. Maka, pasca dirilisnya Gerakan Tuli Mengaji di PPPA Daarul Qur'an Pusat pada 27 Maret 2024, langsung disusul peresmian untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya pada 31 Maret 2024. Setelah itu juga, disusul dengan rilis di wilayah Lampung, Jawa Timur, hingga tuntas di 17 provinsi pada akhir tahun ini. Masifnya Gerakan Tuli Mengaji nasional ini merupakan bentuk kontribusi percepatan dari lembaga sipil dalam rangka pengentasan buta aksara Al-Qur'an untuk kalangan disabilitas tuli.
Tumbuhnya Gerakan Tuli Mengaji menjadi embrio alternatif yang solutif. Literasi aksara Al-Qur’an menjadi benih untuk merekatkan keimanan sekaligus petunjuk manusia dalam menempuh perjalanan spiritual mengenal Tuhan-Nya lebih dekat. Namun, lebih jauh lagi, Gerakan Tuli Mengaji tidak terbatas dalam lingkup literasi, melainkan dapat berkembang ke arah aktivitas pemberdayaan yang dapat menunjang kemandirian muslim tuli.