Bulan Syaban dan Perubahan Arah Kiblat
Salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam Bulan Sya’ban adalah peralihan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram. Ketika perintah untuk sholat diberikan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pasca peristiwa Isra’ Mi’raj, beliau yang saat itu berada di Makkah tentu saja menghadap Ka’bah saat melaksanakan shalat.
Hingga kemudian Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam hijrah ke Madinah, maka turunlah perintah Allah agar menghadap ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqso, Palestina) ketika shalat. Kejadian ini berlangsung selama 16 bulan lamanya. Riwayat lain menyebut 17 atau 18 bulan.
Setelah sekian lama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan umatnya sholat menghadap Masjidil Aqso, beliau sangat berharap agar kiblat dipindahkan kembali ke Masjidil Haram di Mekkah. Bahkan diceritakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berdiri menghadap langit setiap hari menunggu wahyu turun perihal peralihan kiblat itu.
Menurut Al-Qurthubi sebagaimana dilansir NU Online, ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 144 dalam kitab Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa Bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban.
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya, “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Peristiwa berubahnya arah kiblat ini terjadi saat beliau sedang melaksanakan sholat berjamaah di sebuah masjid di pinggiran kota Madinah. Untuk mempertahankan bukti sejarah, hingga kini, masjid tersebut masih mempertahankan 2 mimbar, satu menghadap ke Ka’bah dan satu lagi menghadap ke Baitul Maqdis, dan disebut dengan Masjid Qiblatain (dua kiblat).
Ketika mengubah kiblat ke Baitul Maqdis di Palestina, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ingin menunjukkan kepada kaum Yahudi bahwa Islam datang bukan untuk menghilangkan ajaran-ajaran yang pernah diajarkan oleh para rasul dan nabi terdahulu, termasuk Nabi Musa.
Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika shalat menghadap ke Baitul Maqdis yang merupakan kiblatnya orang-orang Yahudi. Beliau berharap, langkah itu bisa menarik orang-orang Yahudi untuk menerima Islam. Namun ternyata, kebijakan itu tidak membuahkan hasil. Orang-orang Yahudi tetap saja tidak mau menerima Islam, bahkan memusuhi Nabi Muhammad dan umat Islam.
Berubahnya arah kiblat tersebut membuat kaum Yahudi geram dan melontarkan fitnah yang dan menuduh bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai orang yang plin-plan, karena kiblatnya berubah-ubah. Padahal perubahan itu adalah sebagai ujian bagi mereka serta ujian keimanan bagi manusia, sebagaimana terungkap dalam Surat al-Baqarah ayat 143:
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Oleh: K. H. Rochimi Ridwan MM. MA