Ifah: Sang Pejuang Pergi untuk Selamanya
Siti Munifah adalah gadis 12 tahun asal Makassar, Sulawesi Selatan. Ifah, panggilan akrabnya setiap hari membantu ibunya menjual nasi kuning. Sedangkan ayahnya wafat ketika ia duduk di bangku kelas 2 SD. Sejak saat itu, ibunya yang menggantikan peran sang ayah menjadi tulang punggung keluarga.
Ifah berkisah saat mendiang ayah wafat. Waktu itu saat pulang dari sekolah ia nampak heran dengan kondisi rumah yang dipenuhi banyak orang. Lalu sepupunya datang menghampiri dan memeluknya hingga tangisan pecah. Sorot matanya langsung tertuju kepada sang ibu yang menangis sesenggukan.
Saat itu, dunia seakan tidak bersahabat, sang ayah yang selalu menjadi panutan pergi untuk selamanya. Seiring berjalannya waktu, Ifah mencoba menerima kenyataan meski begitu pahit.
Sosok ayah di mata Ifah merupakan seorang pejuang, pekerja keras dan tidak pernah lelah mencari nafkah untuk keluarga. Juga mengajarkan banyak ilmu, paling utama ilmu agama.
Ifah yang kini menjadi santri Grha Tahfidz Daarul Qur’an Makassar mempunyai impian besar menjadi hafidzah 30 juz. Ia bercita-cita menjadi dokter dan ingin menghadiahkan mahkota kepada mendiang ayah dan bisa bertemu kembali dengan di surga.
Nur Azizah Zein, pengajar Rumah Tahfidz menceritakan tentang keseharian Ifah selama di Rumah Tahfidz. “Kalau untuk di kesehariannya Siti Munifah ini, anaknya cukup semangat untuk belajar Al-Qur’an. Meskipun ada beberapa hal yang perlu diperbaiki lagi. Kalau dari segi semangatnya, Ifah cukup semangat dan optimis, mudah-mudahan ke depannya ia bisa lebih baik lagi dalam Al-Qur’annya, adabnya dan pelajaran-pelajaran lainnya.”
“Harapan untuk Ifah, mudah-mudahan dia bisa lebih semangat dan lebih baik lagi. Al-Qur’annya bisa bermanfaat, bukan hanya untuk diri sendiri namun untuk umat secara keseluruhan,” tambahnya. []