Sebuah Upaya Menggaungkan Literasi Muslim Tuli

Sebuah Upaya Menggaungkan Literasi Muslim Tuli

Kelas menulis opini untuk para muslim tuli kembali diselenggarakan. Tepatnya pada Hari Ahad lalu, tanggal 29 Juni 2025. Masih dengan pemateri yang sama, Bandung Mawardi. Seorang esais asal Solo yang karya opininya telah banyak dipublikasikan di berbagai media nasional. 

Lima belas peserta muslim tuli dari Yogyakarta dan Magelang kali ini adalah wajah-wajah sama di pertemuan perdana. Belajar menulis ternyata menjadi candu yang selalu dinanti jadwal pertemuan setiap bulannya. Mungkin karena semenjak mengikuti program ini, mereka menemukan ruang-ruang kebebasan untuk bercerita tentang pengalaman hingga segenap pemikiran dan perasaan yang terpendam. 

Usai bercerita tentang piring pada pertemuan perdana di pertengahan bulan Mei lalu, kini beralih tema untuk mengkreasikan kata “berjalan”. Bandung Mawardi, dalam proses pengajarannya, memberikan kebebasan kepada peserta untuk mengkreasikan satu kata menjadi beraneka tafsir dan konteks. Lalu menyusunnya menjadi sebuah cerita dari pengalaman paling berkesan yang melekat dalam ingatan mereka. Beliau selalu menegaskan sejak pertemuan pertama, bahwa kita semua bisa mulai menulis dari hal yang paling sederhana.

Dalam proses belajar yang khidmat, diskusipun tercipta dari celetuk pertanyaan dan tanggapan yang saling berbalas. Diskusi mereka jauh lebih interaktif daripada seminar atau diskusi pada umumnya meski dengan perantara juru bahasa isyarat. Secara tidak langsung, mereka tidak hanya sedang proses belajar menulis opini, melainkan juga berlatih menumbuhkan hingga mengkomunikasikan opini tanpa takut bersalah. Demikian juga ketika mereka menuliskannya. Pemateri selalu mengapresiasi cerita-cerita pendek yang mereka susun dengan kalimat sederhana. 

Output paling sederhana dari program ini adalah terciptanya sebuah karya tulisan hasil pemikiran dari para muslim tuli. Ini adalah langkah kecil awal untuk menciptakan karya-karya selanjutnya yang lebih besar. Ini juga menjadi bukti dan persembahan kepada publik, bahwa muslim tuli juga memiliki kemampuan beropini melalui narasi-narasi yang diciptakan. Keterbatasan dalam berkomunikasi secara lisan tak menjadi kesimpulan paten bahwa mereka juga terkendala dalam berbahasa secara tulisan. 

Lebih jauh lagi, kelas menulis opini ini menghantarkan pada PR besar tentang minimnya kemampuan literasi para muslim tuli yang berdampak pada pola-pola dalam berkomunikasi. Seiring berjalannya waktu, ketertarikan akan dunia kepenulisan akan menarik pada minat baca guna memperkaya pengetahuan baru dan kosakata. Oleh karena itu, kelas menulis opini ini adalah pijakan pertama untuk menumbuhkan literasi di kalangan muslim tuli, sehingga peningkatan kompetensi ini menjadikan mereka tumbuh menjadi warga yang lebih berdaya.