Tak Mendengar, Tapi Mendekap Kalamullah: Potret Tuli Mengaji di Medan
Di sebuah sudut kota Medan, ada pemandangan yang membuat hati bergetar. Jemari-jemari kecil bergerak pelan, membentuk bahasa isyarat, sementara mata mereka menatap penuh cahaya pada mushaf yang terbuka. Mereka adalah para adik-adik tuli, yang meski tak bisa mendengar lantunan ayat suci, tetap berusaha mendekap Kalamullah dengan sepenuh jiwa.
Program Tuli Mengaji yang digagas oleh PPPA Daarul Qur’an Medan hadir sebagai jembatan kasih untuk sahabat tuli agar bisa lebih dekat dengan Al-Qur’an. Di sini, para pengajar menggunakan metode khusus, menggabungkan bahasa isyarat dengan pembelajaran huruf hijaiyah, tajwid, hingga makna ayat-ayat Al-Qur’an.
“Al-Qur’an adalah petunjuk untuk seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Termasuk bagi saudara-saudara kita yang tuli. Mereka juga berhak mendapatkan cahaya dari Kalamullah,” ujar Ibu Novi, salah satu guru mengaji program ini dengan penuh haru.
Bagi para adik-adik tuli, setiap huruf yang dipelajari bukan sekadar rangkaian tulisan, melainkan pintu menuju kebahagiaan. Meskipun mereka tak bisa mendengar, semangat mereka justru lebih kuat. Dengan gerakan tangan yang penuh makna, mereka seakan berkata bahwa cinta pada Al-Qur’an tak membutuhkan suara.
Salah seorang adik tuli, melalui penerjemah bahasa isyarat, menyampaikan perasaannya, “Saya bahagia bisa belajar Al-Qur’an di sini. Walau saya tidak bisa mendengar, saya ingin hati saya tetap dekat dengan Allah.”
Program Tuli Mengaji menjadi bukti nyata bahwa Al-Qur’an mampu merangkul semua kalangan. Ia menembus keterbatasan, menghadirkan cahaya di tengah sunyi, dan mengajarkan bahwa setiap jiwa punya hak untuk merasakan keindahan firman Allah.
Di balik kesunyian, ternyata ada lantunan yang lebih indah: lantunan iman yang terpatri di dalam hati.